Berdasarkan penjelasan yang layak dipercaya dari orang tua-tua adalah hasil usaha perjuangan Raja Negeri Tapaktuan bernama Raja Amat dan Datuk Titah melawan orang-orang yang datang dari Negeri Pidie hendak memerangi tapaktuan.
Sebelum Belanda masuk memerintah Tapaktuan, Negeri ini diperintah oleh Datuk Mak Dain, setelah Datuk Mak Dain meninggal dunia maka diangkatlah Datuk Badu Ayan untuk penggantinya, karena Datuk Badu Ayan adalah kemenakan Datuk Mak Dain.
Berselang kemudian meninggal pula Datuk Badu Ayan, dan diangkat pula Datuk Raja Amat sebagai pengganti, karena Datuk Raja Amat adalah kemenakan Datuk Badu Ayan, setelah Negeri ini diperintah oleh Datuk Raja Amat maka datanglah segerombolan orang-orang Aceh dari Pidie hendak memerangi Tapaktuan.
Karena gerombolan yang datang tersebut sangat banyak dengan kekuatan yang luar biasa, maka Datuk Raja Amat meminta bantuan kepada Datuk Titah, berhubung Datuk Raja Amat dengan Datuk Titah mempunyai hubungan darah maka Datuk Titah menyatakan kesediaannya untuk membantu Datuk Raja Amat.
Sebelum kedua Raja tersebut maju dalam arena pertempuran, terlebih dahulu keduanya mengadakan suatu perjanjian yaitu, bila Negeri ini mendapat kemenangan dan terlepas dari gangguan orang-orang yang hendak mengacaukan keamanan, maka Negeri ini akan dibagi dua antara Datuk Raja Amat dengan Datuk Titah.
Setelah perjanjian disepakati bersama oleh kedua Raja tersebut, maka mereka pun turun kedalam kancah pertempuran karena keduanya dan juga anak buahnya masing-masing mempunyai keahlian pertempuran dan mengakibatkan orang-orang Pidie terpaksa mundur dan kalah dalam pertempuran tersebut.
Setelah selesai pertempuran dengan memperoleh kemenangan maka sesuai perjanjian yang telah disepakati bahwa Negeri Tapaktuan dibagi menjadi dua bahagian, yang bahagian hulu diperintah oleh Datuk Raja Amat dan bahagian Hilir diperintah oleh Datuk Titah.
Oleh karena Datuk Raja Amat menjadi Raja bahagian Hulu, maka Datuk Raja Amat mengangkat Hulubalangnya bernama Sarah Ali, sedangkan Datuk Titah mengangkat pula Hulubalangnya bernama Mak Sabah.
Kemudian Datuk Raja Amat mengangkat seorang Keuchik Gampong Hulu yaitu Keuchik Djamaddin, setelah Keuchik Djamaddin meninggal maka Datuk Raja Amat mengangkat pula adik kandung Keuchik Djamaddin yang bernama Keuchik Djamauddin.
Disebabkan perkembangan penduduk kian bertambah padat maka Gampong Hulu pada waktu itu dimekarkan, kemudian Datuk Raja Amat mengangkat seorang Keuchik lagi bernama Djamaian sebagai Keuchik Gampong Tepi Air dan Keuchik Ali Basyah sebagai Keuchik Gampong Jambo Apha.
Dengan demikian Gampong Hulu yang sangat luas menjadi berkurang luasnya dengan adanya pemekaran dua Gampong tersebut.
Gampong Hulu terdapat dua jorong (sekarang Dusun) yaitu jorong Harapan dan jorong Bahagia, tiap jorong dipimpin kepala jorong dan tiap jorong masing-masing terdapat sebua mushalla tempat shalat, mengaji, perayaan hari besar Islam, rapat dan musyawarah bersama masyarakat dan kegiatan lainnya.
Mushalla jorong Harapan diberi nama mushalla Muthmainnah sedangkan mushalla jorong Bahagia dibri nama mushalla Menara Putri (sekarang Al hikam).
Sesuai dengan struktur organisasi Pemerintah Kelurahan menurut Keputusan Mendagri Nomor 44/1980 terdapat kepala lingkungan, selanjutnya lingkungan tersebut dalam pengusulan pihak atasan adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan Harapan.
2. Lingkungan Bahagia.
3. Lingkungan Sejahtera.
Oleh sebab itu penambahan lingkungan Sejahtera ini dikarenakan jauhnya jangkauan serta semangkin bertambahnya jumlah penduduk dan bangunan rumah, dimana dilingkungan ini terdapat pula sebuah mushalla al ikhlas yang dibangun oleh DEPAG Kabupaten Aceh selatan, yang mana jamaahnya diisi oleh warga lingkungan setempat.
Demikian sejarah singkat kelurahan Hulu yang sekarang menjadi Gampong Hulu sejak lahirnya UUPA Nomor 11 Tahun 2006 dengan kesimpulan bahwa Negeri Tapaktuan waktu itu diperintah oleh dua orang Raja yang disebut sebagai Rajo Duo Selo, dimana satunya memerintah didaerah Hulu dan satunya didaerah Hilir.